Random Posts

Announcement:

selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Latest Updates

View More Articles

Selasa, 28 Februari 2017

Kesakralan Pancasila Kalahkan Piagam Madinah

ilustrasi: Perang Badar
Pancasila dan Piagam Madinah tidak hanya mengisyaratkan kesejajaran pada penerimaan kelompok-kelompok beragam akan nilai-nilai kemanusiaan universal, tetapi juga mengimplikasikan adanya hak dan kewajiban yang sama pada kelompok-kelompok bersangkutan untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa.

Hakikatnya, Pancasila dan Piagam Madinah memiliki kesamaan sebagai perjanjian luhur. perjanjian luhur seluruh bangsa untuk membangun, mencintai dan mempertahankan Indonesia. Demikian pula dengan Piagam Madinah yang disusun untuk maksud yang kurang lebih sama.

Maka, sudah selayaknya bagi kaum Muslim, sebagai komunitas terbesar dituntut memiliki komitmen kuat dalam pelaksanan Pancasila secara benar. Demikian pula halnya dengan dihilangkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tidaklah berarti sebagai kekalahan perjuangan politik umat Islam, bukan pula kita tidak setuju kalau syariah Islam tegak di bumi Indonesia.

Pancasila dan piagam madinah diyakini sebagai substansi yang sama sebagai sebuah ikatan perjanjian politis antar umat beragama. Bahwa, keduanya sama-sama dibangun atas dasar kesatuan umat, yang menghuni sebuah batas teritorial tertentu.

Piagam Madinah memberi hak sepenuhnya kepada tiap umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing. Demikian pula, Undang-Undang kita yang menjamin eksistensi agama dan peribadatan tiap warga negaranya.

Piagam Madinah mengakomodir semua golongan, justru dengan tanpa mencantumkan secara eksplisit “syariat Islam” ke dalam body-text-nya. Pancasila dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebenarnya sudah lebih mending, karena sudah secara tegas mengafirmasi kepercayaan monoteis.

Terlebih lagi, spirit yang diperoleh dari piagam ini menyatakan, tidak ada golongan yang mendapakan hak lebih sebagai warga negara dibanding golongan yang lain. Kesamaan derajat dihadapan konstitusi inilah yang kemudian mendasari salah satu isi Pidato Bung Karno pada hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945. Beliau mengatakan: “Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”. (islach)

Sabtu, 12 November 2016

Politik Perubahan Iklim Amerika Sebabkan Perekonomian Indonesia Hancur

Ilustrasi; Ketidakpastian cuaca di Indonesia
Baru-baru ini, banyak informasi beredar yang mengungkapkan bahwa negara adikuasa, Amerika menggunakan cara baru untuk membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Politik perubahan iklim. Entah itu benar atau tidak, pada kenyataannya cuaca Indonesia memang mengalami perubahan yang signifikan.

Biasanya, bulan-bulan ini suasana Indonesia lebih panas dan menyengat. Namun, pemandangan seperti dua tahun lalu itu tidak lagi nampak di negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia tersebut. Cuaca Indonesia tahun ini tidak menentu, seharusnya tanah-tanah gersang tak berair, kini justru langit seringkali menurunkan airnya, bahkan banjir terjadi di mana-mana seperti grobogan.

Sawah yang digadang-gadang dapat menghasilkan tanaman berkualitas dan segar, malah busuk. Terlebih di sebagian daerah, para petani gagal panen karena seringnya hujan turun dari langit Indonesia. Akibatnya, harga-harga sembako naik dan masyarakat semakin susah. Gagal panen dan harga makanan pokok meningkat drastis.

Masih ingat peristiwa hebat di Sumatera tahun ini? Kebakaran hutan yang mengakibatkan mangkraknya bandara dan kapal terbang di sekitar pulau Sumatera. Terkait sebab utama terjadinya peristiwa tersebut tak menjadi pembahasan utama kali ini. Akan tetapi, cara pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ini yang perlu digarisbawahi, hujan buatan.

Hubungannya hujan buatan dengan politik perubahan iklim adalah bahwa Amerika dengan sengaja menghamburkan garam sebanyak-banyaknya di langit Asia. Hasilnya, langit Asia, terutama Indonesia sering menurunkan hujan. Dampak dari seringnya terjadi hujan bagi warga Indonesia, mereka (petani) pada umumnya menggarap sawah dengan tanaman cabai atau bawang merah -salah satunya-mengalami gagal panen. Karena sawah yang seharusnya kering dengan kadar air tidak banyak, kini malah terlihat seperti lautan, banjir, dan tanaman-tanamannya rusak.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mengajak untuk memusuhi negara Amerika dan mereka yang mempunyai kepentingan adanya politik ini. Hanya saja, penulis ingin coba menggambarkan wacana yang beredar di kalangan intelektual muda. Semoga saja apa yang penulis tuliskan ini tidak benar. Hehe (Islach-goleng)

Sabtu, 05 November 2016

Goleng; Dusun Progresif

Ilustrasi: Sawah sebagai mata pencaharian utama dusun Goleng
Goleng, salah satu dusun di kabupaten Grobogan ternyata memiliki segudang keistimewaan sekaligus keanehan dibanding dusun-dusun lainnya se-kecamatan Klambu. Coba bayangkan, pada hari raya Islam -Idul Fitri dan Idul Adha- anak-anak kecil diperbolehkan merokok oleh orang tuanya. Hanya di hari raya. Jika nantinya, Anda berkunjung ke dusun kecil tersebut, jangan kaget kalau Anda melihat kenyataan bahwa anak-anak berani menghisap tembakau layaknya orang dewasa. Karena, saat hari raya tiba, para orang tua hendak mengajari anak-anaknya untuk memeriahkan dan mengapresiasi jerih payah puasa satu bulan mereka. Namun, hal yang perlu disoroti di sini buka rokoknya bro, tapi substansi dan pesan moralnya. Lalu apa pesan moralnya? Silahkan cari sendiri, kalau belum tahu, caranya cari lagi. Hehe!

Daerah berpenghuni sekitar seribu orang tersebut juga tidak kalah dalam hal sumber daya alam dan manusia. Timur dusun terbentang luas sawah-sawah, lebih ke timur ada pegunungan, sungai-sungai pun mengelilingi dusun pinggiran tersebut. Banyak orang berasumsi bahwa kota Purwodadi panas, tanahnya tandus, dan masyarakatnya pasti berkulit hitam. Wah, sampean termakan opini yang sukanya menjeneralisir tanpa data. Cobalah sesekali main ke dusun Goleng, suasana adhem ayem, dimanjakan tanaman-tanaman hijau, dan warganya ramah-ramah pasti Anda temukan. Bahkan, gadis-gadis manis dan cantik natural turut meramaikan dusun yang dengan cikal bakal Mbah Rontono dan Mbah Rontoko itu. Atas jasa kedua orang itu lah, dusun Goleng dapat eksis dan diakui sebagai salah satu daerah di kabupaten Grobogan, kata eyang kakung saya. Dulunya, lanjut eyang, Goleng hanya hutan dan rawa, sampai akhirnya datang dua bersaudara itu, mereka kemudian babat alas dan jadilah dusun yang masih mengakar pada desa Terkesi itu.

Lebih lanjut, ternyata warga dusun Goleng ini juga mempunyai kebiasaan mengkoleksi sawah dan tanah. Tak jarang, mereka memiliki sawah atau tanah di dusun atau desa tetangga. Meskipun tanah dan sawah di Goleng sendiri terbentang luas. Bukan bermaksud menjajah lho, mereka hanya ingin melihat keturunannya dapat hidup makmur, tak berjuang seberat mereka (orang tua). Hasilnya, kesibukan sehari-hari mereka ialah ke kebun, sawah, atau membuat benih untuk ditanam di sawah. Tapi, urusan ubudiyah tak terganggu, meskipun disibukkan untuk menggarap sawah, jika datang waktu sembahyang, mereka segerakan untuk mencukupkan pekerjaan dan pulang. Mungkin saja, sembahyang juga dijadikan alasan untuk beristirahat sejenak dari kesibukan-kesibukan yang mereka hadapi seharian. 

Mereka lebih memilih memilik banyak tanah daripada iming-iming mobil, perhiasan, atau rumah mewah. Kekayaan menurut mereka bukan berdasar pada tiga barang di atas. Akan tetapi, seseorang dapat dikatakan sebagai orang kaya jika ia memiliki tanah banyak dan luas, meskipun rumah tak bertembok bata. "Sing penting ora kudanan lan ora kepanasan. Iseh ono panggon ngiyup," Mereka juga tahu bahwa kaya tak menjamin mereka hidup tentram. Lalu apa yang diharapkan? Sukses. Sukses bukan berarti memiliki banyak tanah, rumah, dan mobil mewah, mereka meyakini adanya kehidupan setelah ini, akhirat. Sukses itu jika mereka dapat menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Masyarakat dusun ini juga banyak mengikuti tarekat, jalan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tarekat dapat dilakukan jika syariat sudah terpenuhi. Dalam artian, wilayah syariat masyarakat dusun Goleng tak diragukan lagi, karena mayoritas mereka sudah sampai pada zona tarekat. (Islach)

Jumat, 04 November 2016

Dimensi Globalisasi dan Respon Islam

Ilustrasi
Sungguh mengejutkan, di dunia Islam sendiri muncul beberapa aliran, pemikiran baru, serta timbul konsep ekonomi dan teori politik baru, dan setumpuk aliran-aliran yang lain, baik yang datang dari Barat maupun dari Timur sendiri. Dalam kaitannya dengan masalah ini, para pemikir Islam terklasifikasi dalam dua kubu. Kubu pertama, sama sekali tidak menerima aliran-aliran baru, dengan kata lain, mereka menolak degan mentah-mentah setiap apa yang datang dari Barat atau timur dengan tanpa reserve, dengan tuduhan aliran-aliran baru dianggap sebagai perang pemikrian yang berupaya memporak-porakporandakan Islam yang telah lama dipupuk sejak 14 abad yang lalu. 

Sedangkan kubu kedua, sangat bertolak belakang dengan kelompok yang pertama tadi, dimana kubu ini menerima semua yang datang dari berbagai penjuru (Barat dan Timur) tanpa klasifikasi terlebih dahulu. Lebih dari itu, kubu ini menuding kubu pertama sebagai orang-orang yang bodoh, picik, ketinggalan dan tak mau maju. Perseturuan pun tak dapat dielakkan, masing-masing kubu tidak ada yang mau disalahkan, semuanya mempunyai komitmen yang benar dan yang lain salah.

Menanggapi fenomena di atas, terlepas dari adanya pro dan kontra, penulis punya inisiatif untuk mempelajari lebih dalam aliran-aliran pemikiran yang datang ke dunia Islam dengan penuh seksama dan tanggung jawab. Setidaknya ada tiga prinsip dasar yang telah ditawarkan oleh Dr. Hamdi Zaqzuq—yaitu, Islam dan agama, buka sebuah aliran pemikiran, kemudian globalisasi adalah sebuah realita yang tidak perlu ditolak, dan satu hal yang harus kita akui, bahwa kita di alam persada ini tidak hidup sendirian, dalam artian kita telah berada di tengah-tengah revolusi--untuk dijadikan pedoman dalam menanggapi aliran-aliran era globalisasi, agar bisa menilai dengan objektif.

Salah satu tujuan globalisasi adalah menghilangkan batas-batas jarak, waktu, budaya politik dan ekonomi antarmasyarakat. Disamping itu globalisasi berupaya untuk menanamkan etika dan budaya tertentu (Barat), yang akhirnya diharapkan agar semua umat manusia di dunia ini mempunyai budaya yang sama. Kalau pun tujuan globalisasi demikian, sebaiknya kita umat Islam harus hati-hati dan tidak boleh kehilangan keseimbangan dalam menghadapi globalisasi, agar kita dapat berfikir dengan sehat dan dapat memfungsikan akal secara optimal, sehingga dapat memfilter setiap nilai-nilai budaya yang datang dari Barat. 

Globalisasi datang sebagai aliran, maka globalisai harus kita hadapi, dan kita harus mampu mengaplikasikannya dengan baik. Meskipun pada hakekatnya, globalisasi tidak bias dibilang baik saja sehingga kita menerima setiap alirannya, kadang globalisasi dianggap buruk sehingga kita menolaknya mentah-mentah.

Globalisasi tentunya mengandung nilai positif dan negatif. Globalisasi yang notabene bermula dari bidang ekonomi lebih menonjolkan aspek ekonomi. Globalisasi ekonomi dapat dicontohkan dengan pasar bebas disertai jaminan fasilitas untuk memudahkan kaluar masuknya barang ekspor-impor antarnegara, serta terbentuknya koalisi ekonomi antara perusahaan-perusahaan inernasional. Untuk ikut serta dalam kancah ekonomi internasional, hemat penulis, orang Islam seharusnya dengan segera membentuk koalisi ekonomi Islam, dan berkecimpung di dalamnya, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Dimensi kedua dari globalisasi adalah dimensi politik, dimensi ini membincang terkait demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme. Sebenarnya tiga hal pokok yang disinggung dalam dimensi ini, telah disindir oleh Islam jauh-jauh sebelum lahirnya globalisasi. Islam yang memuat seperangkat hokum, nilai-nilai etika, telah menawarkan konsep-konsep demokrasi, HAM, dan pluralisme. Namun, dalam realitanya masih ada kalangan umat Islam yang menolak demokrasi, karena dianggap sebagai bagian dari budaya Barat.

Maka dari itu, kita (umat Islam) tidak perlu takut dalam menghadapi aliran globalisasi yang menuntut demokrasi dan penegakan hak-hak asasi manusia. Hal yang harus dilakukan adalah kita seharusnya mengimpor nilai-nilai demokrasi, HAM dan pluralisme, sebelum ada tekana dari pihak luar (Barat) untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Karena semua itu merupakan ajaran murni Islam yang selalu aktif memberi kemaslahatan bagi umat manusia. Jadi, setidaknya umat Islam pun harus punya andil dalam menstabilkan nilai-nilai demokrasi, HAM dan pluralisme. Sehingga berperan lebih efektif dalam menghindari segala hal yang negatif yang dapat merusak etika.

Sedangkan dimensi ketiga dari globalisasi adalah dimensi budaya. Penulis sangat setuju, kalau globlalisasi budaya diartikan dengan budaya dunia yang punya kesamaan aturan yang membawa manusia lebih sadar terhadap kemaslahatan bersama di dunia. Begitu juga lebih respek terhadap budaya-budaya yang mengancam kehidupan. 

Misalnya, bahaya senjata perusak massa, bom, nuklir, penyakit AIDS, criminal yang terorganisir dan lain sebagainya. Islam sebagai agama yang terbuka tidak menolak budaya tertentu hanya dengan alasan bahwa itu merupakan budaya asing. Islam akan dan selalu menerima hal-hal yang bermanfaat bagi Islam dan umatnya, walaupun datang dari budaya asing. Bukankah nabi pernah bersabda, “Hikmah itu bagaikan barang yang hilang milik orang mukmin, di mana ia mendapatinya ia berhak mengambilnya.”. 

Hanya satu yang perlu disadari, kemungkinan adanya ancaman globalisasi budaya terhadap nilai-nilai budaya Islam. Hal ini sangat tidak diinginkan, barangkali inilah yang dianggap sebagai tantangan Barat yang luar biasa yang dihadapi Islam. Berulang-ulang kali, penulis berpesan kepada umat Islam untuk tidak menutup diri, terpenjara dengan apa yang sudah dimiliki, namun tetap punya jiwa welcome jika budaya baru datang.

Disamping itu, sikap hati-hati perlu ditanamkan dalam diri setiap umat Islam dalam hal merespon sesuatu yang baru yang akan datang, sebagaiman peribahasa Arab berkata, “Al-muhafadlotu ‘ala al-qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah”—tetap menjaga sesuatu (budaya) lama yang baik, dan mengambil sesuatu (budaya) baru yang lebih baik. (Islach)

Kembali Memaknai Amanah Pancasila

Ilustrasi
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Berangkat dari fenomena inilah, banyak yang bertanya, kenapa Indonesia tidak menggunakan syariat Islam saja? Inilah tantangan bagi kaum terpelajar seperti kita untuk mensosialisasikan makna-makna yang terkandung dalam lima dasar yang sangat kita agungkan itu. Mungkin saja, jika negara ini menggunakan dasar yang berasal dari satu agama saja, justru akan semakin memecah belah negara yang sudah diperjuangkan para founding father terdahulu. Jika kita menilik sejarah, perjalanan perumusan ideologi yang akan dianut oleh warga Indonesia sangat panjang. Misalnya sila pertama -sejarahnya- adanya penggunaan syariat Islam, tentu pemberontakan akan terjadi oleh mereka yang non-muslim. 

Sehinggan muncullha gagasan dari sila pertama yang berbunyi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Fase perlawanan terkait adanya ajaran syariat masuk dalam list Pancasila sudah selesai, lha kok malah ada pemberontakan dengan asumsi bahwa Pancasila adalah ideologi bagi orang sesat. Bagaimana itu bisa terjadi?

Sebelum kita menganggap bahwa Pancasila adalah ideologi bagi orang sesat atau ajaran Thaghut. Lebih baiknya jika kita gali kembali makna-makna yang terkandung dalam lima dasar Indonesia itu. Lebih parahnya lagi, asumsi-asumsi yang menjelek-jelekan Pancasila justru keluar dari orang-orang yang mengaku sebagai orang Islam. Pancasila tidak Islami. Perlu pemahaman mendalam terkait Pancasila. 

Mari kita lihat sila pertama, disebutkan bahwa Pancasila sangat meyakini adanya Tuhan yang esa. Kalau dalam Islam, kita sering mendengar kata 'Tauhid'. Tanpa kita gali lebih dalam apa itu tauhid, jika seseorang sudah mengaku muslim, pasti tahu bagaimana mestinya tauhid itu dipahami. Lalu, Bagaimana Pancasila bisa dikatakan Pancasila ajaran Thaghut? sedangkan Pancasila sendiri mengajarkan kita untuk bertuhan? Lalu, sila kedua yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, sepanjang perjalanan Islam, ajaran untuk menghormati atau memanusiakan manusia sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. masih hidup. Di mana cara Islam memanusiakan budak dan perempuan dapat kita kaji kembali ketika kita bersedia mempelajari sejarah. 

Dalam rangka menghentikan adanya perbudakan, Islam melegalkan adanya perkawinan antara budak dan tuan, efeknya, anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut akan menjadi manusia yang merdeka, meskipun ibunya seorang budak. Lebih lanjut, nabi juga mengajarkan bagaimana memperlakukan budak seperti saudaranya sendiri, misalnya dengan memanggilnya dengan panggilan 'akhi atau ukhti' bukan 'abdi'. Sekiranya ajaran Islam menyikapi budak itu dapat kita ambil makna, bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

'Persatuan Indonesia', Apakah Islam mengajarkan untuk berjalan sendiri dengan menjauhi agama-agama lain? Tentu tidak, Islam sendiri mengajarkan untuk bersatu, bahu-membahu membangun negara yang sudah diperjuangkan para sesepuh. Ketika kita memahami dengan betul, ternyata Islam juga mengajarkan kita untuk berhubungan dengan sesama manusia, 'hablum min al-nas' istilanya. Islam sendiri tidak menutup untuk berhubungan dengan pemeluk agama lain.

Kemudian sila keempat, jika kita terpakan dalam ajaran Islam, kita mengenal dengan konsepsi 'syuro', bahwa kita diajarkan untuk bermusyawarah dan memilih jalan mufakat atau berdasarkan kesepakatan antar-golongan. Sila kelima, kalau Pancasila merupakan ajaran Thaghut, apakah Islam tidak mengajarkan untuk berlaku adil? Anggapan yang tidak benar, cobalah untuk menggali ayat terkait diperbolehkannya seorang suami untuk berpoligami. 
Dijelaskan bahwa Islam dalam kaitannya untuk berlaku adil terhadap kaum hawa, Islam memakai konsep adil sebagai syarat utama diperbolehkannya berpoligami. Suatu hal yang perlu kita telusuri lebih dalam adalah apakah adil itu berarti sama? Konsep adil tidak bisa diartikan dengan sama, karena yang dimaksud adil adalah ketika kita dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, tepat. (Islach)

Pancasila; Paradigma Kehidupan Beragama

Ilustrasi keberagaman di Indonesia
Agama, permasalahan yang masih terus bergulir dan belum menemukan titik temu sampai sekarang. Kasus Poso, Medan, dan Papua bisa kita ambil untuk dijadikan salah satu sampel, bagaimana konflik sosial dari perbedaan agama mampu membuat Indonesia terpecah belah, terpeta-petakan. Benarkah seperti itu, atau permasalahan itu hanya bersifat personal, di mana oknum-oknum melakukan tindak kriminal dengan mengatasnamakan agama? Namun, hal yang harus dipahami terlebih dahulu bahwa fenomena itu terjadi karena ketidakpahaman oknum atau warga Indonesia terkait bagaimana Pancasila itu dipahami dalam konteks keagamaan.

Hal yang paling mendasar dari perbincangan terkait agama dalam konteks undang-undang adalah bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk agama, tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Namun, negara mewajibkan rakyatnya untuk beragama, seperti yang tertera dalam dasar pertama dari Pancasila 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Barangkali sudah mafhum, bahwa pada dasarnya semua agama mengajarkan nilai-nilai luhur bagi setiap pemeluknya untuk menciptakan tatanan kehidupan sosial yang aman dan tentram, bukan untuk membenci agama atau kelompok lain. Ketika para pemeluk agama mampu memahami agamanya secara komprehensif dan tidak adanya gangguan atau ancaman dari pemeluk agama lain, maka sudah sepatutnya terjadi keharmonisan di negara ini. (Pendidikan Pancasila, 2015: 188)

Begitu juga sila yang berbunyi 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab', agama mempunyai peran yang sangat urgen dalam rangka membentuk manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang juga dapat berlaku adil dan mempunyai perilaku yang luhur. Adanya konflik sosial yang agama mempunyai peran terjadinya fenomena itu, diperlukan suatu gagasan yang diharapkan dapat mempersatukan warga Indonesia dari berbagai suku, ras, dan agama. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan Indonesia dari pertumpahan darah dari warga Indonesia sendiri, seperti istilah yang dipakai Presiden pertama kita, Soekarno, bahwa nantinya kita akan memerangi saudara kita sendiri. Era soekarno dkk berperang melawan penjajah yang sudah nyata kalau mereka bukan penduduk asli Indonesia. Berbeda dengan sekarang, justru permusuhan dan peperangan terjadi antar-penduduk pribumi sendiri. Untuk menjawab tantangan terkait gagasan pemersatu bangsa, Pancasila juga akan menjawab dengan lantang lewat sila ketiga, paradigma yang relevan untuk menyatukan bangsa, meskipun Indonesia kaya akan perbedaan, maka pedoman 'Bhineka Tunggal Ika' juga menjadi solusi progresif untuk membendung peperangan antar-saudara setanah air.

Bagaimana dengan sila selanjutnya, apakah dengan kita mengamalkan sila keempat dan kelima juga akan mendapatkan suatu pencerahan dari konflik sosial antar-agama? Para Founding Father negara kita pasti mempunyai cita-cita luhur dengan terealisasikannya keharmonisan antar-warga Indonesia sehingga tercipta kerukunan beragama. Maka dari itu, sila keempat memberikan amanah kepada semua warga Indonesia untuk menanamkan sikap kebersamaan dan meminta wakil rakyat untuk memiliki kebijaksanaan melalui musyawarah mufakat. Tentunya dengan konsepsi hikmat kebijaksanaan yang harus terpenuhi dalam diri warga Indonesia itu sendiri, jika ingin meneruskan perjuangan para pediri Negara ini. Setelah melewati fase permusyawaratan, diharapkan terjadinya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana sila kelima dari dasar-dasar yang sudah dirumuskan oleh para tokoh pendiri bangsa ini.

Jika kita menilik sejarah dan memahami betul bagaimana seharusnya Pancasila diartikan, maka kita akan sepakat bahwa Pancasila akan selalu menjadi dasar yang relevan untuk terciptanya kemakmuran, kenyamanan, dan keharmonisan bagi semua warga Indonesia. Namun, hal itu terwujud jika, warga Indonesia dapat mengaplikasikan amanah para sesepuh yang rela berkorban jiwa dan raganya demi Indonesia tercinta ini. Jadi masalah perbedaan agama tidak lagi menjadi ancaman bagi kesatuan Republik Indonesia ini selama mereka pemeluk agama dapat memahami ajaran agamanya dan makna yang terkandung dalam Pancasila dengan baik. Maka bersiaplah untuk menjadi pelopor kesatuan bangsa yang besar ini.

Sudahkah kita mengaplikasikan amanah Pancasila untuk terciptanya kerukunan beragama? (Islach)



Senin, 17 Oktober 2016

Mario Teguh, Kiswinar, dan Perang Stasiun Televisi Swasta

Ilustrasi
Akhir-akhir ini, media gencar memberitakan kasus yang melibatkan dua anak bangsa, motivator kondang dan seseorang yang mengaku sebagai anaknya. Mario Teguh dan Kiswinar.

Namun, hal perlu disoroti adalah bahwa ada permainan media yang numpang dalam kasus tersebut.
Media atau stasiun televisi tertentu dengan tidak enggan menyerang pria paruh baya itu. Sedangkan media yang lain, yang sepakat dan pernah menggunakan jasa Mario, pasti akan mendukung dengan kuat untuk mempertahankan reputasi Mario sebagai orang yang baik.
Peta peperangan sudah terkonsep, lalu di manakah Anda memposisikan diri?

Hal ini juga pernah terjadi, ketika pemilu presiden yang diaktori Jokowi dan Prabowo. Ingatkah Anda? Perseturuan sengit antara TipeOne dan Mecrot (bukan nama asli) dalam mensukseskan calon presiden yang mereka yakini atau minimal percaya untuk memimpiin Indonesia lima tahun selanjutnya.
Kasus Mario dan Kiswinar pun juga hampir sama seperti apa yang dahulu pernah terjadi.

Jadi, sebaiknya dalam melihat fenomena yang terjadi dan mampu gemparkan bumi pertiwi ini, kita harus mempunyai banyak sudut pandang. Check and balance harus dilewati dalam rangka menanamkan jiwa skeptis dalam diri manusia yang dianugerahi akal sehat. "Great intelectuals are skeptical" Seorang intelektual sejati adalah mereka yang berjiwa skeptis, kalimat super yang pernah terlontat dari mulut filsuf yang pernah membuat karya berjudul "The Will to Power", Frederich Nietzche.

Jangan pernah gampang percaya terhadap apa yang sudah disampaikan oleh media. Bukan bermaksud untuk mengajak berburuk sangka, hanya saja, skeptis adalah way of life yang harus kita lestarikan.
Merdeka!

goleng

Copyright @ 2013 Wacana. Designed by Templateism | Love for The Globe Press