|
Ilustrasi |
Sungguh mengejutkan, di dunia Islam sendiri muncul beberapa aliran, pemikiran baru, serta timbul konsep ekonomi dan teori politik baru, dan setumpuk aliran-aliran yang lain, baik yang datang dari Barat maupun dari Timur sendiri. Dalam kaitannya dengan masalah ini, para pemikir Islam terklasifikasi dalam dua kubu. Kubu pertama, sama sekali tidak menerima aliran-aliran baru, dengan kata lain, mereka menolak degan mentah-mentah setiap apa yang datang dari Barat atau timur dengan tanpa reserve, dengan tuduhan aliran-aliran baru dianggap sebagai perang pemikrian yang berupaya memporak-porakporandakan Islam yang telah lama dipupuk sejak 14 abad yang lalu.
Sedangkan kubu kedua, sangat bertolak belakang dengan kelompok yang pertama tadi, dimana kubu ini menerima semua yang datang dari berbagai penjuru (Barat dan Timur) tanpa klasifikasi terlebih dahulu. Lebih dari itu, kubu ini menuding kubu pertama sebagai orang-orang yang bodoh, picik, ketinggalan dan tak mau maju. Perseturuan pun tak dapat dielakkan, masing-masing kubu tidak ada yang mau disalahkan, semuanya mempunyai komitmen yang benar dan yang lain salah.
Menanggapi fenomena di atas, terlepas dari adanya pro dan kontra, penulis punya inisiatif untuk mempelajari lebih dalam aliran-aliran pemikiran yang datang ke dunia Islam dengan penuh seksama dan tanggung jawab. Setidaknya ada tiga prinsip dasar yang telah ditawarkan oleh Dr. Hamdi Zaqzuq—yaitu, Islam dan agama, buka sebuah aliran pemikiran, kemudian globalisasi adalah sebuah realita yang tidak perlu ditolak, dan satu hal yang harus kita akui, bahwa kita di alam persada ini tidak hidup sendirian, dalam artian kita telah berada di tengah-tengah revolusi--untuk dijadikan pedoman dalam menanggapi aliran-aliran era globalisasi, agar bisa menilai dengan objektif.
Salah satu tujuan globalisasi adalah menghilangkan batas-batas jarak, waktu, budaya politik dan ekonomi antarmasyarakat. Disamping itu globalisasi berupaya untuk menanamkan etika dan budaya tertentu (Barat), yang akhirnya diharapkan agar semua umat manusia di dunia ini mempunyai budaya yang sama. Kalau pun tujuan globalisasi demikian, sebaiknya kita umat Islam harus hati-hati dan tidak boleh kehilangan keseimbangan dalam menghadapi globalisasi, agar kita dapat berfikir dengan sehat dan dapat memfungsikan akal secara optimal, sehingga dapat memfilter setiap nilai-nilai budaya yang datang dari Barat.
Globalisasi datang sebagai aliran, maka globalisai harus kita hadapi, dan kita harus mampu mengaplikasikannya dengan baik. Meskipun pada hakekatnya, globalisasi tidak bias dibilang baik saja sehingga kita menerima setiap alirannya, kadang globalisasi dianggap buruk sehingga kita menolaknya mentah-mentah.
Globalisasi tentunya mengandung nilai positif dan negatif. Globalisasi yang notabene bermula dari bidang ekonomi lebih menonjolkan aspek ekonomi. Globalisasi ekonomi dapat dicontohkan dengan pasar bebas disertai jaminan fasilitas untuk memudahkan kaluar masuknya barang ekspor-impor antarnegara, serta terbentuknya koalisi ekonomi antara perusahaan-perusahaan inernasional. Untuk ikut serta dalam kancah ekonomi internasional, hemat penulis, orang Islam seharusnya dengan segera membentuk koalisi ekonomi Islam, dan berkecimpung di dalamnya, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Dimensi kedua dari globalisasi adalah dimensi politik, dimensi ini membincang terkait demokrasi, hak asasi manusia dan pluralisme. Sebenarnya tiga hal pokok yang disinggung dalam dimensi ini, telah disindir oleh Islam jauh-jauh sebelum lahirnya globalisasi. Islam yang memuat seperangkat hokum, nilai-nilai etika, telah menawarkan konsep-konsep demokrasi, HAM, dan pluralisme. Namun, dalam realitanya masih ada kalangan umat Islam yang menolak demokrasi, karena dianggap sebagai bagian dari budaya Barat.
Maka dari itu, kita (umat Islam) tidak perlu takut dalam menghadapi aliran globalisasi yang menuntut demokrasi dan penegakan hak-hak asasi manusia. Hal yang harus dilakukan adalah kita seharusnya mengimpor nilai-nilai demokrasi, HAM dan pluralisme, sebelum ada tekana dari pihak luar (Barat) untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Karena semua itu merupakan ajaran murni Islam yang selalu aktif memberi kemaslahatan bagi umat manusia. Jadi, setidaknya umat Islam pun harus punya andil dalam menstabilkan nilai-nilai demokrasi, HAM dan pluralisme. Sehingga berperan lebih efektif dalam menghindari segala hal yang negatif yang dapat merusak etika.
Sedangkan dimensi ketiga dari globalisasi adalah dimensi budaya. Penulis sangat setuju, kalau globlalisasi budaya diartikan dengan budaya dunia yang punya kesamaan aturan yang membawa manusia lebih sadar terhadap kemaslahatan bersama di dunia. Begitu juga lebih respek terhadap budaya-budaya yang mengancam kehidupan.
Misalnya, bahaya senjata perusak massa, bom, nuklir, penyakit AIDS, criminal yang terorganisir dan lain sebagainya. Islam sebagai agama yang terbuka tidak menolak budaya tertentu hanya dengan alasan bahwa itu merupakan budaya asing. Islam akan dan selalu menerima hal-hal yang bermanfaat bagi Islam dan umatnya, walaupun datang dari budaya asing. Bukankah nabi pernah bersabda, “Hikmah itu bagaikan barang yang hilang milik orang mukmin, di mana ia mendapatinya ia berhak mengambilnya.”.
Hanya satu yang perlu disadari, kemungkinan adanya ancaman globalisasi budaya terhadap nilai-nilai budaya Islam. Hal ini sangat tidak diinginkan, barangkali inilah yang dianggap sebagai tantangan Barat yang luar biasa yang dihadapi Islam. Berulang-ulang kali, penulis berpesan kepada umat Islam untuk tidak menutup diri, terpenjara dengan apa yang sudah dimiliki, namun tetap punya jiwa welcome jika budaya baru datang.
Disamping itu, sikap hati-hati perlu ditanamkan dalam diri setiap umat Islam dalam hal merespon sesuatu yang baru yang akan datang, sebagaiman peribahasa Arab berkata, “Al-muhafadlotu ‘ala al-qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah”—tetap menjaga sesuatu (budaya) lama yang baik, dan mengambil sesuatu (budaya) baru yang lebih baik. (Islach)